Kisah Posyandu Di Masa Pandemi

Bidan dari puskemas dan kader posyandu sudah siap dengan semua peralatan tempurnya. Bu bidan dengan buku buku besar data data balita, dan botol vitamin A. Sedangkan kader dengan timbangan gantung dan meteran kain untuk mengukur lingkar kepala. Semuanya sudah siap di posisi masing masing dengan masker di wajah sebagai adaptasi kebiasaan baru pelaksanaan posyandu di masa pandemi. Itulah suasana Rabu siang itu mendampingi posyandu di kelurahan Kebungson.

Sejak terjadinya pandemi, posyandu yang biasanya rutin dilaksanakan tiap bulan otomatis terhenti. Dari tiga puskesmas yang ada di kota saya, baru satu puskesmas yang berani melaksanakan posyandu, yaitu puskesmas Alun Alun. Salah satu wilayah kerja puskesmas Alun alun adalah kelurahan Kebungson yang kebetulan juga menjadi wilayah yang saya ampu sebagai penyuluh KB.

Ada yang berbeda dari pemberian vitamin A di masa pandemi ini. Pemberian vitamin A yang biasanya di teteskan di mulut balita langsung oleh bu bidan, kali ini di bawa pulang dan diminumkan di rumah oleh orang tuanya. Walaupun sudah memakai face shield dan masker, para bidan ini juga tetap harus menjaga diri mereka dari kemungkinan adanya viral load covid 19 dari para balita. Posyandu di kelurahan Kebungson tidak ada thermogun yang ditembakkan, jadi antisipasi apakah peserta yang datang demam atau tidak tidak bisa dilakukan. Apalagi untuk mengetahui adanya balita OTG yang pada saat membuka mulut ketika di tetesi vitamin A dan menyemburkan viral load yang tidak tahu seberapa besar jumlahnya. Bisa dibayangkan bila dari 50 balita ada 5 saja yang OTG berapa viral load yang di terima oleh para bidan tadi.

Dari beberapa posyandu yang pernah saya kunjungi, kelurahan Kebungson ini salah satu posyandu yang sarananya serba terbatas. Bayangan posyandu yang secara ideal ada 5 meja dengan fungsi yang berbeda tentu saja tidak mungkin terlaksana. Berada di kawasan padat penduduk, lokasi posyandu ini menumpang di pos keamanan yang berukuran kurang lebih 1,5 x 2,5 m. Jelas tidak mungkin untuk semua peserta posyandu yang berjumlah kurang lebih 50 orang beserta balitanya duduk untuk mendengarkan penyuluhan. Bahkan untuk menimbang balita pun dilakukan di emperan rumah warga yang berjarak gang selebar 1 meter dari pos keamanan. Apalagi penerapan physical distancing selama pelaksanaan posyandu, sangat jauh panggang dari api.

Dan kunjungan posyandu kali ini ada kisah tersendiri. Ditengah pelaksanaan posyandu ada 2 anak yang duduk disamping kader kader pendaftar. Seorang anak berusia 5 tahun sedang memangku adiknya yang berusia 1,5 tahun terdiam berduan, tampak sedikit lusuh. Tiba tiba seorang kader berseru “Endi iki ibuke, kok durung di daftarno?” (mana ini ibunya, kok belum didaftarkan), seorang kader lain menyahut “Lho kan sek tas duwe adik maneh, ibuke jek tas ngelahirno iku” (Lho kan barusan punya adik lagi, ibunya barusan melahirkan)

Saya terhenyak mendengarnya, Oh my god, anak masih 1, 5 tahun sudah punya adik lagi. Sudah pasang KB belum ibunya? Kalau ndak segera pasang KB bisa punya adik lagi ini. Apalagi melihat penampilan mereka berdua yang sedikit lusuh saya membayangkan mereka bukan dari ekonomi yang cukup, bisakah orangtuanya menanggung beban hidup anak 3 apalagi kalau punya adik lagi. Ada rasa bersalah terlintas, kenapa saya bisa kecolongan ibu hamil tanpa sempat dikonselingi KB pasca salin ketika si ibu sedang persiapan mau melahirkan. Jika si ibu sempat mendapat konseling KB pasca salin, tentunya termotivasi untuk pasang KB langsung setelah melahirkan.

Belum lagi bahaya hamil dimasa pandemi. Resiko yang harus dihadapi ibu hamil karena daya tahan tubuh yang menurun, terbatasnya akses kesehatan selama pandemi dan keribetan yang harus dihadapi ketika akan melahirkan. Harus di rapid dulu supaya tidak membahayakan tenaga kesehatan yang menolong persalinan. Beberapa ibu yang akan melahirkan akhir akhir ini ternyata banyak  yang positif Covid dan merupakan orang tanpa gejala, sehingga hal ini memerlukan penanganan tersendiri ketika akan bersalin.

Segera saya dekati kader posyandu yang juga merangkap sebagai kader KB, yang tengah sibuk  menimbang, “Bu, Ibunya anak dua ini sudah ikut KB belum?”

Sambil menghentikan menimbang bu kader menjawab “Ndak tahu mbak” jawaban yang sedikit mengecewakan dari seorang kader KB.  Saya tidak bisa memaksa terlalu keras mereka untuk selalu mencari akseptor KB, karena menjadi kader adalah kerja sukarela yang honornya cuma belasan atau puluhan ribu perbulan. Mereka tentunya punya kesibukan sendiri untuk dapat memenuhi kebutuhannya sehari hari sehingga tidak bisa selalu mencari akseptor. ”Nanti kita kerumahnya anak dua ini ya bu, saya pengen ketemu ibunya”

“Ibunya anak tadi sebenernya punya anak 4 mbak, tapi yang satu meninggal usia 3 tahunan kayaknya” Jelas kader ibu kader dalam perjalanan ke rumah kedua anak itu. “Meninggalnya karena tenggelam di sumur mbak” aduh batin saya, masih kuat ndak saya dengan cerita kemalangan selanjutannya.

Setalah 20 m berjalan dari posyandu melalui gang selebar 1,5 m tibalah kami disebuah gang selebar badan orang, setelah sedikit masuk bu kader menyeletuk “Ini mbak sumur tempat saudara dua anak tadi kecemplung”

Saya menelan ludah, tampak sebuah bibir sumur yang tingginya sebetis orang dewasa

“Jadi dia itu kecemplung sumurnya karena mau ambil bolanya yang jatuh ke dalam sumur” sambil bu kader bercerita dan 5 langkah dari sumur itu sampailah kami di sebuah pintu. Dibalik pintu itu ternyata ada beberapa rumah petak. Ibu X, ibu dari 2 anak yang ada di posyandu tadi tampak tertidur disamping bayinya. Pintu yang tidak di tutup membuat bu kader dengan mudah membangunkannya. Wajahnya tampak kuyu kelelahan. Mungkin karena begadang menyusui bayinya.

“Kapan lahirannya mbak? “ Tanya bu kader,  “3 hari yang lalu” sahut nenek si bayi yang ternyata juga di situ.

“Sudah pasang KB mbak?” tanyaku, “Sudah Bu, kemarin habis melahirkan langsung di pasang susuk sama bu bidan” Alhamdulillah, Alhamdulillah, alhamdulillah seru saya di dalam hati.

“ASI nya lancar mbak? “ Tanya saya melanjutkan “Iya bu lancar, cuma ini bekas luka tempat pasang susuknya agak gatel” sambil menunjukkan tempat pemasangan susuk di lengan kirinya “Ndak papa mbak, nanti kalau masih gatel sampai waktu kontrol disampaikan ke bu bidannya ya”

“Masih pingin punya anak lagi kah mbak? “ Tanya saya melanjutkan.

“Sudah ndak bu, katanya ada KB steril ya bu? saya pingin steril saja bu” Jawabnya. Kutanya berapa usianya dan dia menjawab 26 tahun, “Belum bisa mbak kalau mau steril atau MOW (Metode Operasi Wanita)”, syarat ikut MOW adalah usia akseptor diatas 35 tahun dan anak minimal 3.

“Pandemi begini juga PKBI yang biasanya melaksanakan KB MOW gratis juga tutup mbak, diteruskan pakai susuknya saja dulu mbak, itu kan buat 3 tahun, nanti kalau sudah 3 tahun baru dipikirkan lagi mau pakai KB apa” saya lanjutkan dngan menerangkan tentang kelebihan metode kontrasepsi yang dipilihnya “Sampeyan sudah enak mbak sudah pakai susuk jadi ndak perlu sering ke puskemas untuk suntik KB atau minta pil KB, apalagi jamannya covid begini” di masa pandemi ini BKKBN memang lebih menggiatkan pemakaian MKJP (Metode Kontrasepsi Jangka Panjang) yaitu IUD / spiral dengan masa pakai 5 sampai dengan 10 tahun serta implant / susuk dengan masa pemakaian 3 tahun. Harapannya supaya para akseptor tidak perlu sering sering ke fasilitas kesehatan untuk mencegah penyebaran covid 19.

Saya pamit dan melewati jalan yang sama ketika menuju ke rumah mbak X, ada desir desir yang susah dijelaskan dengan kata kata ketika melewati sumur tadi. Tak bisa saya bayangkan bagaimana rasanya mbak X setiap kali melewati sumur itu, manakala teringat anaknya yang mati tenggelam.

PR saya masih banyak, PR saya sebagai Penyuluh KB. Kesadaran KB yang masih rendah, informasi informasi tentang pelayanan KB gratis yang harus terus disampaikan kepada masyaraka. Supaya calon akseptor seperti mbak X yang sering maju mundur ingin ikut KB karena tebentur dana bisa ikut KB dengan mudah. Edukasi yang lebih lagi bagi kader kader sub PPKBD, bahwa tugas mereka sungguh mulia, membantu keluarga keluarga mengatur jumlah anaknya agar mereka dapat merencanakan masa depan yang lebih baik. Dan selalu mengingatkan slogan BKKBN yang baru tentang DAHSAT yaitu Dua Anak Lebih Sehat, dan “Berencana Itu Keren”

Dan bicara soal kontrasepsi, ada satu lagi yang perlu dicatat, yaitu peringatan hari kontrasepsi sedunia yang jatuh pada tanggal 26 September setiap tahunnya. Jadi, selamat Hari Kontasepsi Sedunia 26 September 2020, jangan lupa tetap pakai kontrasepsi, apalagi di masa pandemi.

 

 

Ditulis oleh :

WULAN PURBANI

ASN Penyuluh KB di Kabupaten Gresik